"selalu berbagi cinta tuk secerca kebahagian"

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter


SUKU LAMALERA DAN PERBURUAN IKAN PAUS


Lamalera adalah sebuah kampung nelayan tradisional di pantai selatan Pulau Lembata, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kampung Lamalera merupakan kampung terpencil, terisolasi dan jauh dari keramaian, jauh dari arus komunikasi. Kampung-kampung dibangun di atas cadas dan karang, tepat di kaki atau lereng bukit atau gunung. Jarak antara kampung yang satu dengan kampung lain amat berjauhan, dengan berjalan kaki bisa memakan waktu lebih dari satu hari.
Kampung ini sangat terkenal karena para nelayannya adalah para pemburu ikan paus. Memburu paus sudah mendarah daging dan sudah menjadi bagian dari siklus kultur kelautan yang diwarisi nenek moyang sejak berabad-abad lalu.
Kebiasaan dan adat istiadat yang masih mereka jalankan hingga kini adalah seputar rumah adat, perahu layar dan mata pencaharian di laut, ketiga hal ini menjadi referensi setiap tindakan etis dan moral masyarakatnya.
Menjaga keaslian tiga hal pokok ini diyakini masyarakat Lamalera akan menjamin keharmonisan kehidupan keluarga nelayan.
 
Dr HR Barners dalam bukunya berjudul, Cetaceans and Cetacean Hunting, (1980) antara lain menyebutkan, tradisi penangkapan paus oleh masyarakat nelayan Lamalera telah berlangsung sejak lama, sejak nenek moyang suku tersebut mendiami daerah itu.
Tidak ada literatur khusus yang menyebutkan sejak kapan masyarakat Lamalera di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Pulau Lomblen, Flores Timur, melakukan penangkapan terhadap paus secara tradisional.
Budayawan lokal Lembata, Ambrosius Oleona di Lewoleba pekan lalu menyebutkan, masyarakat Lamalera mengawali tradisi penangkapan paus sejak kepindahan mereka dari Pulau Lepanbatan (antara Pulau Lembata dan Pulau Alor) kemudian menetap di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela sekitar abad ke-XIV.
Ini diketahui dari isi syair tua atau Lia Asa Usu terutama pada bait ke-11. Hau honek teti Doni Nusa Lela. Fanik teti Ue Ulu Mado. Gelu heka fato rappa blodo, sera ribu tali ratu. Artinya, datang bergubuk di Doni Nusa Lela, membangun rumah di Ue Ulu Mado, mengadakan penukaran alat-alat kerajinan gerabah kepada penduduk yang berdiam di sana.
Pulau Lepanbatan berada di sebelah timur Pulau Lembata. Tetapi ketika berdiam di pulau ini masyarakat Lamalera belum memiliki tradisi menangkap paus. Sebagian bertani dan sebagian sebagai nelayan. Jenis tangkapan hanya ikan biasa dengan alat tangkap tempuling kecil dari kayu yang disebut heppa.
Paus tak pernah melewati Pulau Lepanbatan, tetapi berada di perairan Laut Sawu antara Pulau Lembata dan Pulau Timor. 
 
Diawali upacara
Staf Dinas Pariwisata Kabupaten Lembata, Erna, mengutarakan, masyarakat Lamalera benar-benar menggantungkan hidup dari laut. Masa resmi turun ke laut biasanya Mei-September yang disebut mussi leffa atau leffa nuang (musim kemarau). Masa ini banyak paus memasuki perairan Laut Sawu.
Kegiatan menangkap paus diawali dengan upacara adat dan agama. Upacara ini dilakukan tiga hari sebelum turun ke laut. Menurut Oleona, dalam upacara tobu nama fata (musyawarah kampung) ini tuan tanah yakni suku Lango Fujjo memiliki peran sentral.
Melalui mereka sebagai tuan tanah, para leluhur di gunung yakni Lebaleka berkenan menolong anak-anaknya dalam pertarungan di laut. Gunung ini diyakini sebagai tempat tinggal Ama Rera Wula, Bapa Penguasa Langit dan Bumi. Upacara ini berpuncak di kapel Santo Petrus Lamalera dengan misa suci. Di sana mereka semua berdoa, memeriksa batin, saling memaafkan. Mereka lalu berlayar.
Jika ada ikan paus muncul ke permukaan maka hal pertama yang dilakukan adalah menurunkan layar dan tiang. Saat itu semua orang di pesisir pantai dan gunung tahu bahwa perahu siap melakukan penangkapan.
Pimpinan perahu lalu memercikkan air suci kepada seluruh awak perahu. Semua awak dilarang mengucapkan kata-kata kotor atau berbuat dosa, atapun menyakiti orang lain.
Juru tikam lama fa mulai mengambil posisi paling depan, hamma hollo. Di situ lama fa bertanya, apakah ikan itu milik kita? Semua menjawab "yah". Setelah itu dengan lama fa melompat dengan tempuling di tangan kemudian menghujamkannya ke tubuh ikan paus.
Pada saat itu kemudi dikuasai lama uri, juru mudi, dan breung alep, asisten lama fa. Lama uri dan breung alep harus pandai mengarahkan perahu demi keselamatan seluruh awak. Di sini terjadi pertarungan hidup mati.
Daging paus yang didapat, bisa ditukar dengan sejumlah makanan pokok seperti jagung. Sistem barter ini berlaku setiap Sabtu di pasar tradisional Wulandoni. Daging paus mereka konsumsi sebagian. Minyak paus digunakan untuk berbagai keperluan seperti minyak urut, mengobati orang sakit, minum, dan seterusnya. 

Leave a Reply